Rabu, 02 Januari 2013

Hukum Berteriak-teriak di Masjid

 

Hukum Berteriak-teriak di Masjid


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Masjid memiliki kedudukan mulia dalam Islam. Ia adalah tempat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah berupa shalat, membaca Al-Qur'an, zikir, dan semisalnya. Selayaknya setiap muslim menjaga kehormatannya, memakmurkannya dengan ibadah,  dan menjauhkannya dari hal-hal tidak layak. Salah satu tindakan yang selayaknya dijauhkan dari masjid adalah berteriak-teriak di dalamnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi pebuatan ini. Imam Malik melarangnya secara mutlak, baik dalam kegiatan pengajian atau selainnya. Sementara ulama yang lain memilahnya; yang memiliki tujuan untuk kebaikan agama (seperti menyampaikan ilmu, khutbah, berita dan selainnya) atau manfaat duniawi (seperti menaghih hutang dan selainnya) maka dibolehkan. Dan jika tidak memiliki faidah jelas di dalamnya maka dilarang.
Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahihnya, Bab Raf'u al-Shaut fi al-Masjid (Bab tentang mengeraskan suara di masjid). Beliau menyebutkan dua hadits yang secara zahirnya menunjukkan pertentangan. Pertama, hadits Umar menunjukkan dilarangnya perbuatan itu.
Dari al-Saib bin Yazid, ia berkata; "Aku pernah berdiri di masjid lalu ada seseorang yang melempar krikil kepadaku. Maka aku melihat. Ternyata orang itu adalah Umar bin Khaththab. Kemudian ia berkata, 'Pergilah, bawa kedua orang itu.”
Aku pun datang kepadanya dengan membawa kedua orang itu. Ia (Umar) bertanya, “Siapa kamu berdua?” atau “Dari mana kamu berdua?” Keduanya menjawab, “Dari penduduk Tha’if.” Ia berkata,

 لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Kalau kamu berdua berasal dari penduduk negeri ini, tentu aku mendera kamu berdua; kamu telah mengeraskan suara di masjid Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.” (HR. Bukhari)

Ancaman Umar yang akan mendera dua orang yang mengeraskan suaranya di masjid Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sekiranya keduanya bukan dari luar Madinah menunjukkan bahwa keduanya melakukan perbuatan yang menyalahi perbuatan yang sudah disepakati.
Kedua, hadits Ka'ab yang menunjukkan tidak ada larangan terhadap hal itu. Dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik, bahwa Ka'ab bin Malik mengabarkan kepadanya; ia pernah menagih hutang terhadap Ibnu Abi Hadrad di masjid pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Lalu suara keduanya meninggi sehingga terdengar oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang berada di rumahnya. Beliau keluar menemui keduanya sehingga tersingkap tirai kamarnya. Beliau memanggil Ka'ab dan berkata: "Wahai Ka'ab." Ka'ab menjawab, "Labbaika, Ya Rasulullah." Beliau megisyaratkan dengan tangannya, "bebaskan setengah dari hutang milikmu." Ia (Ka'ab) menjawab, "Aku telah melaksanakannya wahai Rasulullah." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda (kepada Ibnu Abi Hadrad), "Berdiri dan bayarlah hutang." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Muhallab berkata, "Kalaulah mengeraskan suara di dalam masjid itu tidak boleh, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak akan membiarkan keduanya (saling bersuara keras) dan pasti beliau menjelaskan kepada keduanya." (Fathul Baari: I/647)

Al-Hafidz berkata, "Dari hadits ini terdapat isyarat bahwa larangan dalam hal yang tidak ada manfaat dan tidak dilarang jika ada kebutuhan kepadanya." Beliau menambahkan penjelasan, terdapat beberapa hadits yang melarang meninggikan suara di masjid, namun ia dhaif yang sebagiannya dikeluarkan oleh Ibnu Majah. (Fathul Baari I/656)

Larangan bersuara keras di masjid lebih ditekankan saat ada orang yang sedang mengerjakan shalat. Sampaipun atas siapa yang sedang membaca Al-Qur'an. Karena membaca Al-Qur'an dengan keras bisa mengganggu orang yang sedang bermunajat kepada Allah dalam shalat.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

"Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan isi munajatnya dan janganlah satu sama lain mengeraskan mengeraskan bacaan Al Qur’annya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah dan Aisyah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1951)

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, saat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam beri'tikaf di masjid beliau mendengar para sahabatnya mengeraskan bacaan Al-Qur'an. Lalu beliau membuka kain penutup dan bersabda, "Ketauhilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain." (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan al-Hakim)

Jika demikian larangan meninggikan dan mengeraskan suara bacaan Al-Qur'an, maka terhadap suara selainnya lebih layak tidak dikeraskan agar tidak mengganggu orang yang sedang shalat. Wallahu Ta'aala A'lam. [Sumber voa-islam.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar